Preman di Medan Nyaris Adu Jotos dengan Dishub, Klaim Lahan Parkir Daerah Kekuasaannya – Di tengah hiruk-pikuk kota Medan yang dikenal dengan kemacetan dan dinamika sosial yang kompleks, muncul konflik yang melibatkan premanisme dan layanan publik, dalam hal ini Dinas Perhubungan (Dishub) setempat. Insiden yang nyaris berujung pada adu jotos ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh otoritas dalam menegakkan regulasi, terutama terkait dengan lahan parkir yang sering kali menjadi objek sengketa. Artikel ini akan mengupas tuntas fenomena premanisme di Medan, konflik yang terjadi, serta implikasi dari klaim lahan parkir oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan kekuasaan tertentu.
1. Fenomena Premanisme di Medan
Premanisme merupakan masalah sosial yang telah menjadi bagian dari kehidupan urban di banyak kota besar, termasuk Medan. Dalam konteks ini, preman dapat diartikan sebagai individu atau kelompok yang menggunakan kekerasan atau ancaman untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, sering kali dengan cara yang ilegal. Di Medan, aktivitas premanisme biasanya terkait dengan pengelolaan lahan parkir, pengutipan uang secara paksa, serta berbagai bentuk pemerasan lainnya.
Premanisme di Medan bukanlah fenomena baru. Sejak tahun 1990-an, fenomena ini telah berkembang seiring dengan urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Maraknya kendaraan bermotor yang tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan parkir yang memadai menciptakan ruang bagi preman untuk beroperasi. Mereka seringkali mengambil alih lahan parkir yang seharusnya dikelola oleh pemerintah atau swasta dengan cara intimidasi dan pemaksaan.
Selain itu, preman juga sering menjalin hubungan dengan oknum-oknum tertentu dalam pemerintahan atau aparat penegak hukum. Hubungan ini menciptakan jaringan yang sulit diputus, karena saling menguntungkan di satu sisi, namun merugikan masyarakat pada umumnya. Korban dari praktik premanisme ini adalah para pengendara yang harus membayar “uang parkir” kepada preman, meskipun mereka tidak memiliki hak untuk memungutnya.
Kondisi ini menjadi lebih rumit saat Dishub Medan berusaha menertibkan lahan parkir yang dikuasai oleh preman. Upaya penegakan hukum sering kali dihadapkan pada resistensi dari kelompok-kelompok preman yang merasa “dianggap mengganggu” wilayah kekuasaan mereka. Situasi ini menciptakan ketegangan yang dapat berujung pada konflik fisik, seperti yang baru-baru ini terjadi.
2. Insiden Nyaris Adu Jotos antara Preman dan Dishub
Dalam insiden terbaru, sekelompok preman di Medan hampir terlibat dalam adu jotos dengan petugas Dishub saat petugas tersebut melakukan penertiban di area parkir yang mereka klaim sebagai wilayah kekuasaan mereka. Kejadian ini terjadi di tengah upaya Dishub untuk menertibkan pengelolaan parkir yang tidak berizin dan membebaskan lahan publik dari praktik premanisme yang telah mengakar.
Awalnya, Dishub Medan mendatangi lokasi tersebut setelah menerima laporan dari masyarakat yang merasa dirugikan. Dalam situasi tersebut, petugas Dishub berusaha untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menggunakan lahan parkir resmi dan menghindari praktik ilegal. Namun, saat petugas berusaha untuk mengamankan area tersebut, sekelompok preman yang merasa terancam segera mengadakan perlawanan.
Ketegangan meningkat ketika kedua belah pihak saling memprotes, dan situasi semakin panas saat saling ejek dan tantangan fisik mulai bermunculan. Untungnya, situasi tersebut tidak berujung pada perkelahian fisik yang lebih serius, berkat keterlibatan aparat keamanan yang segera meredakan ketegangan. Namun, insiden ini menunjukkan seberapa besar pengaruh premanisme di Medan dan bagaimana hal itu dapat mengganggu tugas pelayanan publik.
Dari perspektif Dishub, insiden ini mencerminkan tantangan besar dalam upaya mereka untuk menegakkan aturan dan memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Mereka harus berjalan di atas tali yang tipis antara menegakkan hukum dan menghadapi potensi konfrontasi dengan kelompok-kelompok yang menentang upaya tersebut. Di sisi lain, masyarakat juga menjadi korban dari praktik premanisme yang merugikan mereka.
3. Klaim Lahan Parkir oleh Preman
Salah satu aspek yang paling mencolok dalam konflik antara preman dan Dishub adalah klaim lahan parkir yang sering kali dikuasai oleh preman. Mereka menganggap lahan tersebut sebagai “wilayah kekuasaan” yang sah dan berhak untuk memungut biaya parkir, meskipun tidak memiliki izin resmi dari pemerintah. Klaim ini sering kali disandarkan pada argumen bahwa mereka telah lama “mengelola” lahan tersebut, meskipun cara yang mereka gunakan sering kali ilegal dan merugikan masyarakat.
Klaim lahan parkir oleh preman ini sering kali menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat. Banyak pengendara yang merasa tertekan untuk membayar “uang parkir” kepada preman, karena takut akan adanya tindakan kekerasan atau intimidasi jika mereka menolak. Hal ini menciptakan situasi di mana masyarakat terjebak antara keinginan untuk mematuhi hukum dan rasa takut terhadap preman yang beroperasi di sekitar mereka.
Dishub, dalam upayanya untuk menertibkan lahan parkir, menghadapi berbagai kendala. Selain harus berurusan dengan kelompok preman yang terorganisir, mereka juga harus menghadapi stigma sosial yang telah terbentuk di kalangan masyarakat terkait dengan praktik premanisme. Upaya untuk menjaga ketertiban dan memberikan layanan publik yang baik sering kali terhambat oleh ketakutan masyarakat untuk melaporkan tindakan preman.
Penting bagi Dishub untuk melakukan pendekatan yang lebih holistik dalam menanggulangi premanisme. Selain penegakan hukum, perlu adanya pendidikan kepada masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka terkait dengan penggunaan lahan parkir. Dengan memberikan informasi yang jelas, diharapkan masyarakat bisa lebih berani melawan praktik ilegal dan melaporkan tindakan premanisme kepada pihak berwenang.
4. Implikasi Sosial dan Ekonomi dari Konflik Ini
Konflik antara preman dan Dishub tidak hanya berdampak pada aspek hukum dan ketertiban, tetapi juga memiliki implikasi sosial dan ekonomi yang jauh lebih luas. Dari sisi sosial, keberadaan preman dan praktik premanisme dapat menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah. Jika masyarakat merasa bahwa pemerintah tidak mampu melindungi mereka dari intimidasi preman, maka akan muncul perasaan putus asa dan ketidakpuasan terhadap sistem hukum.
Secara ekonomi, premanisme dapat menyebabkan kerugian bagi kota Medan dan masyarakat secara keseluruhan. Praktik pemungutan uang parkir yang tidak sah akan mengurangi pendapatan asli daerah (PAD), karena uang yang seharusnya masuk ke kas daerah justru mengalir ke kantong individu. Hal ini tentu berdampak pada ketersediaan anggaran untuk berbagai program publik yang seharusnya bermanfaat bagi masyarakat.
Bukan hanya itu, konflik yang terjadi di antara preman dan Dishub juga dapat mengganggu stabilitas keamanan kota Medan. Ketika kedua belah pihak terlibat dalam konflik fisik, ketidakpastian akan muncul di tengah masyarakat, menciptakan suasana yang tidak kondusif untuk berbisnis dan berinvestasi. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menghentikan pertumbuhan ekonomi kota, yang pada gilirannya akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk bersatu dalam menangani masalah premanisme. Koordinasi antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman. Hanya dengan cara ini, Medan dapat berkembang menjadi kota yang lebih baik, di mana masyarakat dapat menjalani kehidupan tanpa rasa takut terhadap ancaman premanisme.
Baca juga artikel ; Perkembangan Proyek LRT Velodrome-Manggarai Rp 4,5 Triliun